Apa kabar petani Bali hari ini? Masihkah profesi ini akan bertahan beberapa tahun ke depan? Pertanyaan ini muncul ketika saya iseng membuka arsip foto lama yang menampilkan aktivitas petani di sawah, kaki berlumur lumpur, dan senyum lepas meski matahari baru muncul separuh.
Pertanyaan itu makin menggelitik, apalagi melihat kenyataan di lapangan. Sawah makin sedikit, berubah jadi vila atau perumahan. Di sisi lain, anak-anak muda jarang sekali yang mau melanjutkan profesi orang tuanya di sawah.
Saya sendiri lahir di keluarga petani. Dari kecil, pemandangan sawah dan suara air di parit itu sudah biasa. Tapi waktu besar dan mulai berpikir tentang masa depan, saya memilih masuk dunia IT. Bukan karena gengsi, tapi jujur saja, saya ragu apakah jadi petani sekarang bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Jadi kalau ada yang bilang anak muda sekarang “malas” jadi petani, saya paham betul, masalahnya bukan malas tapi realistis.
Kalau ngomongin petani padi di Bali, pasti tidak akan jauh-jauh dengan Subak. Sistem irigasi ini sampai diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Seharusnya, jadi bagian dari Subak itu membanggakan. Tapi, kenapa kenyataannya malah makin sedikit orang yang mau?
Sekarang tantangannya berat. Lahan sawah banyak dialihfungsikan jadi bangunan. Biaya pupuk dan tenaga kerja naik, sementara harga gabah segitu-segitu saja. Generasi muda makin enggan turun ke sawah karena keuntungannya tipis, apalagi cuaca sekarang sering bikin siklus tanam berantakan.
Meski begitu, bukan berarti harapan hilang. Kalau harga gabah bisa dibuat layak, ada program regenerasi petani yang mengajak anak muda bertani dengan teknologi, dan lahan produktif dilindungi dari alih fungsi, profesi petani masih bisa bertahan. Menjaga petani berarti menjaga nasi di piring kita, dan menjaga Subak berarti menjaga jiwa Bali itu sendiri.
0 komentar