Sebelum tren lari pagi seramai sekarang, saya sudah sempat rutin berlari pagi. Bagi saya, alasan berlari tidak hanya sekadar olahraga, tetapi juga momen untuk melepas penat. Salah satu tempat favorit saya adalah area Bajra Sandhi Monument.

Monumen Bajra Sandhi terletak di Jl. Raya Puputan No.142, Renon, Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Tempat ini memiliki lapangan yang sangat luas, dimanfaatkan warga untuk berolahraga maupun kegiatan lainnya. Bisa dikatakan, inilah salah satu fasilitas umum utama di Kota Denpasar.

Mengapa banyak orang memilih tempat ini untuk olahraga pagi? Lokasinya sangat strategis, berada di tengah kota dan diapit beberapa kantor pemerintahan. Suasana hijau dengan pepohonan rimbun juga menambah semangat dan kenyamanan untuk berolahraga. Fasilitasnya memadai, dan jogging track-nya selalu terawat dengan baik.

Setiap hari Minggu ada car free day, sehingga Anda bisa berolahraga bebas tanpa terganggu kendaraan. Aktivitas yang populer di sini mulai dari jogging, jalan santai, bersepeda, hingga sekadar cuci mata sambil berburu jajanan.

Belakangan, tren olahraga juga semakin bergeser. Jangan heran jika Anda melihat banyak fotografer yang menawarkan jasa memotret momen olahraga Anda. Seolah kini, olahraga bukan hanya soal sehat, tetapi juga soal gaya dengan outfit yang keren.

Nah, kalau Anda sendiri bagaimana? Apakah termasuk yang peduli dengan gaya saat olahraga, atau tetap santai dan cuek saja?

Saat ada tugas pekerjaan ke Bogor, Jawa Barat, saya selalu meluangkan waktu untuk berkunjung dan bersembahyang di sebuah pura yang istimewa. Bagi saya sebagai orang Bali sekaligus umat Hindu, pura bukan hanya sekadar tempat beribadah, tetapi juga tempat yang menghadirkan rasa pulang.

Pura yang saya maksud adalah Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, yang terletak di kaki Gunung Salak, di Ciapus, Kecamatan Ciomas di Kabupaten Bogor. Akses menuju pura ini menanjak, namun sepanjang perjalanan kita disuguhkan pemandangan alami yang indah.

Bagi Anda umat Hindu yang sedang berada di Bogor, pura ini bisa menjadi pilihan tepat untuk beribadah. Suasana sejuk khas kaki gunung, udara dingin, serta pemandangan hijau membuat peribadahan terasa begitu tenang. Di sekitar pura juga terdapat warung makan khas Bali yang menambah kuat nuansa Pulau Dewata, ditambah fasilitas seperti kamar mandi dan tempat penunjang lainnya yang cukup baik.

Sebagai umat Hindu Bali, berada di pura ini membuat saya merasa seperti pulang ke rumah. Nuansanya mengingatkan saya pada pura-pura di Bali, seakan berada di tanah kelahiran sendiri, meski sebenarnya sedang merantau.

Bagi kami, umat Hindu Bali, pura bukan hanya tempat untuk sembahyang. Pura juga menjadi tempat kami “pulang”, karena di sanalah suasana Bali tetap bisa kami rasakan, walau berada jauh dari kampung halaman.

Suatu hari di Canggu, saya harus mencari tempat untuk bekerja karena customer yang akan saya kunjungi tiba-tiba berhalangan. Kebetulan saya belum begitu familiar dengan cafe yang nyaman untuk kerja di kawasan ini. Bukan masalah, justru kesempatan untuk mengexplore tempat baru sambil ngopi.

Setelah berkeliling sebentar, mata saya tertuju pada sebuah cafe kecil yang sederhana tapi unik. Namanya Jikaa Coffee x Eatery, berlokasi di Jl. Pantai Berawa No.1a, Tibubeneng, Kuta Utara, Badung.

Meski tidak luas, suasananya nyaman untuk bekerja. Banyak bule yang tinggal di Canggu menjadikan tempat ini sebagai coworking mereka. Saya sendiri betah berlama-lama karena dekorasinya sederhana tapi tidak membosankan. Rasanya seperti berada di cafe kecil di luar negeri, hanya saja lokasinya di sudut kota.

Satu hal yang perlu dicatat adalah jam operasionalnya. Jikaa Coffee buka pukul 07.30 pagi hingga 15.00 sore. Tidak seperti kebanyakan cafe lain yang bisa buka sampai malam. Saya pernah ingin mampir sore hari setelah meeting, tapi ternyata sudah tutup. Mungkin di sinilah sisi uniknya. Cafe ini seolah mengikuti ritme bule, yang jarang minum kopi di sore atau malam hari karena bisa mengganggu tidur mereka.

Jadi, kalau ingin ngopi pagi hingga sore atau mencoba sarapan ala bule di tempat yang simple dan nyaman, Jikaa Coffee x Eatery patut masuk daftar kunjungan saat berada di Canggu.

Ada satu momen ketika istri mengajak saya ke sebuah gerai Starbucks yang baru buka (dulu). Katanya, gerai ini berbeda dari yang lain karena menghadirkan suasana ngopi yang unik. Rasa penasaran pun langsung muncul, dan saya setuju untuk melihatnya sendiri.

Sedikit cerita, istri saya adalah salah satu orang yang mengenalkan saya pada kebiasaan ngopi. Dari dia saya belajar bahwa ngopi, nongkrong, bahkan sekadar “nge-chill” bisa jadi mood booster. Dia juga yang pertama kali mengajak saya mencoba kopi di Starbucks.

Ternyata gerai yang dimaksud adalah Starbucks Kintamani Bali, yang berlokasi di Central Batur, Kintamani, Bangli Regency. Begitu sampai, saya langsung paham kenapa tempat ini spesial. Dari area cafe, pengunjung bisa menikmati pemandangan megah Gunung Batur, langsung di depan mata. Rasanya luar biasa.

Bagi yang sudah terbiasa ngopi di gerai Starbucks dalam kota, mall, atau area wisata, Starbucks Kintamani jelas menawarkan suasana berbeda. Sambil menikmati kopi favorit, mata juga dimanjakan dengan panorama alam yang jarang bisa ditemui di gerai Starbucks lain.

Pengalaman saya di sana jujur sangat berkesan. Kombinasi kopi, tempat yang nyaman, dan pemandangan indah membuat saya betah berlama-lama. Jadi, kalau kamu sedang di Bali dan suka kopi Starbucks, wajib banget mencoba ngopi di Starbucks Kintamani Bali.

Hobi saya ngopi dan nongkrong sendirian membuat saya sering mengexplore berbagai cafe di Bali. Ya, ngopi sendirian, bukan ramai-ramai. Justru di saat itu saya merasa bisa lebih rileks dan lepas dari penatnya pekerjaan.

Salah satu cafe yang menjadi pilihan saya ketika ingin menikmati kopi sambil membuka laptop adalah Nilo Coffee & Kitchen. Nilo terletak di Jalan Drupadi II No. 9z, Denpasar, Bali. Bagi Anda yang tinggal di Denpasar dan senang nongkrong atau ngopi, mungkin sudah tidak asing lagi dengan cafe ini.

Tempatnya nyaman, baik untuk mengejar pekerjaan yang tertunda maupun sekadar bersantai sambil menyeruput kopi. Tersedia area indoor dan outdoor, sehingga Anda bisa memilih sesuai kebutuhan. Bagi yang merokok, area outdoor bisa jadi pilihan, sedangkan area indoor terasa lebih tenang dan bebas asap. Untuk fasilitas parkir juga cukup memadai, sesuatu yang sering kali jadi kendala di cafe-cafe pusat kota, terutama bagi pengunjung yang membawa mobil.

Tidak hanya untuk saya sendiri, saya juga kerap datang bersama istri bahkan anak. Selain suasananya yang mendukung untuk melepas penat, Nilo Coffee & Kitchen juga ramah keluarga. Ada area playground yang membuat anak bisa tetap terhibur. Tipsnya, pilihlah area indoor atau menjauh dari area perokok agar si kecil tetap nyaman.

Soal kopi, karena saya pecinta cappuccino, menu ini selalu jadi pilihan utama. Untuk makanan, pilihannya cukup beragam. Salah satu favorit saya adalah Nasi Gila, menu khas dengan olahan ayam berbumbu pedas lengkap dengan nasi putih. Rasanya sederhana tapi mantap, khas Indonesia banget.

Kalau Anda mencari tempat ngopi di Denpasar yang nyaman untuk kerja, santai, atau bahkan bersama keluarga, Nilo Coffee & Kitchen bisa jadi pilihan yang tepat. Suasananya mendukung, menunya beragam, dan lokasinya strategis. Buat saya pribadi, tempat ini bukan sekadar kafe, tapi juga ruang kecil untuk melepas penat, baik sendirian maupun bersama keluarga.

Kali ini saya ingin berbagi sedikit pengalaman saat ngopi di salah satu kedai kopi ternama: Kopi Kenangan. Ya, brand Kopi Kenangan sudah sangat dikenal di Indonesia, dengan cabang yang tersebar di berbagai kota besar, termasuk Bali. Bali memang menjadi pasar potensial untuk kopi karena banyaknya peminat dan suasana yang cocok untuk ngopi santai.

Bagi saya, Kopi Kenangan bukan sekadar tempat ngopi, tapi juga ruang untuk berpikir dan mencurahkan isi pikiran. Saat ide sedang buntu, tempat ini sering jadi solusi untuk sekadar bengong, mencari inspirasi, lalu menuliskannya ke dalam project plan.

Fasilitas seperti WiFi dan colokan juga selalu tersedia, menunjang aktivitas kerja maupun sekadar scroll-scroll santai. Hal unik lainnya: password WiFi-nya sering berubah-ubah dengan nama yang lucu dan kreatif. Coba deh kalau ke sana!

Soal lokasi, gampang ditemukan kok. Tinggal cari di Google Maps, cabangnya tersebar di area strategis. Tempatnya nyaman dan pelayanannya pun ramah. Cocok banget buat santai sambil menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.

Untuk pilihan kopi, meski saya suka cappuccino, saya lebih sering memesan Kopi Kenangan Mantan. Bukan karena namanya yang "baper", tapi karena varian ini sering masuk dalam paket promo mereka. Dengan harga sekitar 30 ribuan, kita bisa dapat kopi dan roti, cukup terjangkau dan ramah di kantong.

Kalau kamu sedang cari tempat santai yang mendukung produktivitas, Kopi Kenangan bisa jadi salah satu pilihan menarik!

Bagi saya, roh Bali tidak hanya hadir lewat pemandangan alamnya yang indah, tetapi juga dari sisi budaya yang berpadu dengan religi. Mayoritas masyarakat Bali memeluk agama Hindu, sehingga wajar jika pulau ini dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura.

Perpaduan budaya dan religi melahirkan beragam tradisi yang menarik bagi wisatawan. Salah satunya adalah Hari Raya Nyepi.

Nyepi merupakan Tahun Baru Saka, namun berbeda dengan perayaan tahun baru di tempat lain. Tidak ada pesta meriah, melainkan hening, sepi, dan refleksi diri. Uniknya, saat Nyepi seluruh Bali benar-benar “shutdown”. Aktivitas berhenti total, transportasi ditutup, orang tidak boleh keluar rumah, lampu dimatikan, bahkan bandara internasional pun tutup. Bali menjadi satu-satunya daerah di dunia yang melakukan hal seperti ini.

Yang membuat saya takjub, penutupan total ini bisa berjalan lancar berkat dukungan penuh masyarakat non-Hindu dan pemerintah. Tanpa toleransi dan kebersamaan, Nyepi di Bali tidak mungkin bisa berlangsung seperti sekarang.

Pada hari itu, Bali benar-benar hening. Sebuah pulau yang tak pernah tidur akhirnya beristirahat. Alam pun mendapat jeda untuk bernapas kembali, sementara manusia diajak untuk masuk ke dalam dirinya, merenung, dan menemukan ketenangan di tengah kegelapan malam.

Bagi Anda yang hobi fotografi seperti saya, Nyepi adalah saat terbaik untuk melihat langit Bali. Dengan minimnya cahaya lampu, bintang-bintang tampak bertebaran begitu jelas, pemandangan yang jarang kita lihat di hari-hari biasa.

Dan itulah Bali. Sebuah pulau yang tidak pernah kehabisan cerita, tempat budaya, agama, dan toleransi melebur menjadi harmoni yang indah.

Bagi pecinta fotografi, hunting foto selalu menjadi kegiatan yang seru, terlebih jika lokasinya tidak biasa dan jarang dilirik fotografer. Kali ini, saya ingin berbagi pengalaman menjelajahi night photography di Pasar Seni Kumbasari, Denpasar, Bali.

Pasar Seni Kumbasari berada di jantung Kota Denpasar, menghadirkan nuansa klasik yang seolah membawa pengunjung masuk ke pasar tua. Selain menjadi pusat grosir dengan harga yang terjangkau, fasilitas pasar ini juga terus diperbarui oleh pemerintah kota. Keunikan lainnya, pasar ini seakan tak pernah tidur. Pagi hari dipenuhi aktivitas belanja kebutuhan pokok dan perlengkapan upacara, sementara malam hari berubah menjadi pasar seni dengan suasana yang berbeda.

Saya memilih datang pada malam hari, karena lampu-lampu pasar memancarkan cahaya jingga yang hangat, memberi tone klasik yang sangat fotogenik. Di sini, Anda bisa memotret aktivitas malam pasar, menangkap momen interaksi pedagang dan pembeli, atau bereksperimen dengan teknik long exposure. Tripod menjadi teman setia, meski kadang menimbulkan tatapan heran dari para pedagang yang melihat keribetan saya memotret dari sudut ke sudut.

Suasana malam di Kumbasari punya daya tarik tersendiri. Lampu-lampu temaram berpadu dengan bayangan yang memanjang di lantai, aroma rempah dan jajanan pasar menyatu di udara, serta riuh suara transaksi yang tak pernah benar-benar berhenti. Rasanya seperti menyaksikan potongan sejarah yang terus hidup.

Bagi saya, memotret di Pasar Seni Kumbasari pada malam hari bukan sekadar menangkap gambar, tetapi juga merekam jiwa sebuah kota. Di balik setiap jepretan, ada cerita tentang perdagangan, tradisi, dan keteguhan sebuah pasar tua yang tetap berdiri, menjaga denyut budaya Bali dari masa ke masa.

Apa kabar petani Bali hari ini? Masihkah profesi ini akan bertahan beberapa tahun ke depan? Pertanyaan ini muncul ketika saya iseng membuka arsip foto lama yang menampilkan aktivitas petani di sawah, kaki berlumur lumpur, dan senyum lepas meski matahari baru muncul separuh.

Pertanyaan itu makin menggelitik, apalagi melihat kenyataan di lapangan. Sawah makin sedikit, berubah jadi vila atau perumahan. Di sisi lain, anak-anak muda jarang sekali yang mau melanjutkan profesi orang tuanya di sawah.

Saya sendiri lahir di keluarga petani. Dari kecil, pemandangan sawah dan suara air di parit itu sudah biasa. Tapi waktu besar dan mulai berpikir tentang masa depan, saya memilih masuk dunia IT. Bukan karena gengsi, tapi jujur saja, saya ragu apakah jadi petani sekarang bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Jadi kalau ada yang bilang anak muda sekarang “malas” jadi petani, saya paham betul, masalahnya bukan malas tapi realistis.

Kalau ngomongin petani padi di Bali, pasti tidak akan jauh-jauh dengan Subak. Sistem irigasi ini sampai diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Seharusnya, jadi bagian dari Subak itu membanggakan. Tapi, kenapa kenyataannya malah makin sedikit orang yang mau?

Sekarang tantangannya berat. Lahan sawah banyak dialihfungsikan jadi bangunan. Biaya pupuk dan tenaga kerja naik, sementara harga gabah segitu-segitu saja. Generasi muda makin enggan turun ke sawah karena keuntungannya tipis, apalagi cuaca sekarang sering bikin siklus tanam berantakan.

Meski begitu, bukan berarti harapan hilang. Kalau harga gabah bisa dibuat layak, ada program regenerasi petani yang mengajak anak muda bertani dengan teknologi, dan lahan produktif dilindungi dari alih fungsi, profesi petani masih bisa bertahan. Menjaga petani berarti menjaga nasi di piring kita, dan menjaga Subak berarti menjaga jiwa Bali itu sendiri.

Sawah selalu menjadi salah satu pemandangan favorit saya untuk diabadikan dengan lensa. Dan sejak beberapa tahun lalu, Bali adalah tempat eksplorasi fotografi saya, terutama untuk pemandangan sawah yang bertingkat dan hijau. Banyak spot, baik yang dekat maupun jauh dari rumah, menyuguhkan keindahan terasering yang luar biasa.

Namun, akhir-akhir ini saya merasa sedih. Banyak area persawahan di Bali mulai berubah fungsi. Ladang yang dulu terbentang kini berganti menjadi deretan cafe atau perumahan. Terutama di area yang dekat dengan destinasi wisata atau pusat keramaian.

Bagi saya, ini bukan hanya tentang hilangnya spot foto. Tapi juga hilangnya bagian dari alam yang dulu memberi ketenangan. Keindahan alami itu perlahan digantikan oleh bangunan-bangunan kokoh yang tumbuh di mana-mana.

Dan yang lebih menggelitik hati, saya pun menjadi bagian dari perubahan itu. Saya membeli sebuah rumah yang dulunya adalah sawah. Ironis, sekaligus menyadarkan saya pun berperan dalam hilangnya keindahan yang saya rindukan.

Inti yang ingin saya sampaikan adalah, sering kali kita kecewa melihat lingkungan yang berubah. Merasa alam tak lagi sehangat dulu. Kita mudah menyalahkan pihak lain, pengembang, wisatawan, pemerintah. Tapi sering lupa bahwa kita pun turut andil dalam perubahan itu.

Mungkin sekarang bukan waktunya lagi bertanya, “Kenapa ini bisa terjadi?” Tapi lebih ke, “Apa yang bisa saya lakukan untuk menjaga yang tersisa?”

Saya tidak tahu kenapa tulisan ini mengarah ke sana. Mungkin karena saya baru saja melihat arsip foto lama, area yang dulunya hamparan hijau sawah, kini jadi hotel atau cafe. Dan saat ingin menyalahkan orang lain, saya justru diingatkan bahwa saya adalah bagian dari mereka.

Bali dan Pantai Kuta sudah seperti pasangan yang tak terpisahkan. Sejak dulu, rasanya aneh jika seseorang berkunjung ke Bali tanpa menyempatkan diri ke Pantai Kuta. Pantai ini seakan menjadi wajah Bali, destinasi legendaris yang selalu masuk daftar utama para pelancong.

Namun, bagaimana kondisinya sekarang?

Popularitasnya memang sedikit meredup. Munculnya banyak destinasi baru yang viral di media sosial membuat Kuta tak lagi menjadi pusat perhatian. Wisatawan, terutama yang sudah beberapa kali datang ke Bali, cenderung mencari suasana pantai lain yang belum mereka jelajahi.

Meski begitu, Kuta tetap layak dikunjungi. Fasilitas umum di sekitar pantai sudah sangat memadai, dan suasana sunset di sini tetap memukau. Mall sekelas Beachwalk yang berada persis di pinggir pantai turut menjaga keramaian kawasan ini, meski gaungnya tak sebesar dulu.

Satu hal yang perlu dicatat, akses jalan menuju Pantai Kuta bisa jadi tantangan tersendiri. Jalan yang sempit dan padat, apalagi saat jam-jam menjelang senja, berpotensi membuat wisatawan terjebak macet. Jika anda ingin menikmati sunset di sini, datanglah lebih awal. Bahkan setelah matahari terbenam, perjalanan keluar dari kawasan Kuta atau Legian masih akan diwarnai kemacetan. Kondisi yang semakin memburuk dari waktu ke waktu seiring meningkatnya volume kendaraan.

Bagi saya, Pantai Kuta tetaplah ikon Pulau Bali. Semoga keindahannya terus terjaga agar generasi-generasi mendatang tetap bisa menikmatinya. Dan jika kamu berencana berkunjung ke Bali, jangan lewatkan momen matahari terbenam di pantai ini. Suasananya tenang, indah, dan menawan. Sempurna untuk menutup hari.

Awalnya, tempat ini viral di media sosial dan langsung menarik perhatian banyak orang. Nyarik Kopi memang berbeda dari tempat kopi lainnya, tanpa gerai, tanpa kedai permanen. Mereka hanya berjualan di atas motor klasik, dan hanya buka pada hari-hari tertentu, itu pun hanya di pagi hari.

Nyarik Kopi berlokasi di Penebel, Tabanan, Bali. Tempat ngopi ini berada di tengah persawahan dengan jalan setapak yang cukup sempit, kalau dilalui mobil, pas-pasan sekali. Maka dari itu, disarankan datang menggunakan motor. Jika datang dengan mobil, biasanya harus parkir di bawah dan berjalan kaki menuju lokasi. Jaraknya lumayan jauh dan cukup melelahkan, tapi cocok juga untuk yang ingin sekalian berolahraga pagi.

Yang istimewa dari tempat ini bukan hanya kopinya, tapi suasana dan pemandangan sawah di pagi hari. Kita bisa menikmati sunrise yang menyinari hamparan persawahan yang masih asri dan alami. Rasanya tenang dan damai. Anda bisa lihat beberapa foto saya di bawah yang menggambarkan betapa indahnya suasana di sana.

Harga kopi di sini masih standar, dan tersedia juga gorengan serta camilan untuk menemani sarapan atau sekadar ngemil pagi. Pengunjung biasanya duduk santai di tikar yang disediakan di pinggir sawah, suasana yang benar-benar berbeda dari coffee shop modern pada umumnya.

Namun, karena tempat ini sepenuhnya outdoor, kelemahannya adalah cuaca. Jika hujan, otomatis tidak bisa berjualan. Karena itu, biasanya admin Nyarik Kopi akan memberi info lewat media sosial apakah hari itu mereka buka atau tidak, tergantung cuaca.

Kesimpulannya, Nyarik Kopi cocok bagi Anda yang mencari pengalaman ngopi santai dengan pemandangan alami, asri, dan menenangkan. Jika Anda penikmat suasana dan view, tempat ini sangat layak dikunjungi. Namun, jika Anda datang semata untuk mengejar rasa kopi dengan kualitas barista tinggi, mungkin tempat ini bukan tujuan yang utama.

Di postingan saya dulu, saya sempat membahas keindahan persawahan Jatiluwih di Tabanan, Bali, yang sangat cocok untuk fotografi. Dan memang benar, setiap kali saya berkunjung ke sana, saya selalu dibuat takjub oleh pemandangan yang bisa saya abadikan. Kali ini saya hanya ingin sedikit berbagi dan mengingatkan, setiap sudut persawahan Jatiluwih bisa menjadi spot foto yang menarik jika dimaksimalkan.

Saya memang beberapa kali sengaja kembali ke tempat ini, mungkin karena suasananya yang cocok untuk segala momen. Saat sedang bahagia, saya datang ke sini. Saat sedang bad mood, tempat ini justru jadi pelarian terbaik untuk melepas penat.

Sekarang, sudah banyak cafe yang mendukung pengalaman kita di sana. Mau ngopi, makan berat, atau sekadar ngemil pun bisa. Fasilitas penunjang untuk wisatawan juga semakin lengkap, membuat kunjungan ke Jatiluwih semakin menyenangkan.

Pada akhirnya, Jatiluwih bukan hanya tempat untuk hunting foto, tapi juga cocok untuk segala segmen wisatawan. Karena suasananya yang asri dan alami, tempat ini cocok dinikmati oleh semua kalangan. Namun bagi Anda para fotografer yang gemar hunting foto, ada satu saran penting: jangan lupa membawa tripod dan lensa tele saat membawa kamera DSLR atau mirrorless. Kombinasi ini bisa menghasilkan foto-foto yang luar biasa.

Semua foto di artikel ini adalah hasil jepretan saya sendiri. Kalau anda suka suasana seperti ini, anda dapat melihat karya lainnya di Shutterstock & di Adobe Stock saya untuk portofolio lengkapnya.

Kali ini saya tidak membahas tempat di Bali. Kita melompat sedikit ke sebelah timur, tepatnya ke Pulau Lombok. Di sana, saya pernah mengunjungi sebuah pantai yang saat itu terasa sangat "perawan", tenang, alami, dan belum ramai dijamah wisatawan. Pantai itu adalah Pantai Selong Belanak.

Saya sudah beberapa kali berkesempatan berkunjung ke Lombok, dan saya akui, pantai-pantai di sana masih sangat asri dan alami. Tidak sepadat pariwisata di Bali, tapi justru itulah daya tariknya. Selong Belanak adalah salah satu pantai cantik yang pernah saya kunjungi di Lombok.

Pantai ini terletak di Desa Selong Belanak, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, sekitar 60 km dari Kota Mataram. Bagi saya yang terbiasa menjelajah Bali dengan jarak di bawah 40 km, ini terasa cukup jauh. Tapi jangan khawatir, jalurnya sudah beraspal dan nyaman dilewati mobil.

Saat pertama kali tiba, saya langsung disambut oleh hamparan bibir pantai yang sangat luas. Terasa lega dan damai. Beberapa cafe berdiri rapi di sepanjang pantai, cocok untuk menikmati sore dengan santai.

Pasir putih yang halus dan latar bukit hijau menjadi nilai tambah tersendiri. Saya bahkan melihat beberapa orang berselancar. Jadi, jika Anda menyukai surfing, tempat ini patut Anda coba.

Namun, yang paling membekas bagi saya adalah saat matahari terbenam. Sunset di sini bukan hanya indah di langit, tapi juga tercermin indah di permukaan pasir basah. Efeknya luar biasa memukau. Jangan heran jika saat menikmati pemandangan itu, Anda melihat warga lokal melintas menggiring kerbau. Justru itulah salah satu ikon khas dari Pantai Selong Belanak, perpaduan alami antara alam, budaya, dan kehidupan sehari-hari.

Bali terkenal dengan pantai-pantai yang menyuguhkan pemandangan sunset paling memukau. Setiap sudut pantai yang menghadap ke barat selalu diserbu wisatawan. Senja memang waktu yang indah tenang, syahdu, dan sering membawa ketenangan bagi siapa saja yang menikmatinya.

Tapi, bagaimana dengan sunrise?

Ketika berbicara tentang matahari terbit, salah satu destinasi terbaik di Bali adalah Pantai Sanur. Di sinilah tempat yang ideal untuk menikmati keindahan pagi. Meskipun tid    ak seviral pantai-pantai lain di Bali, eksistensi Pantai Sanur tetap terjaga. Pantai ini masih menjadi destinasi favorit bagi wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin menyaksikan hangatnya matahari terbit.

Saya dulu sering berolahraga pagi di sini. Jalur jogging yang membentang di bibir pantai membuat saya merasa nyaman. Ditambah lagi, suasananya yang tidak terlalu ramai memberikan ketenangan tersendiri.

Tak hanya untuk olahraga, Pantai Sanur juga menawarkan panorama indah yang cocok untuk fotografi. Saya beberapa kali sengaja datang hanya untuk mengabadikan momen ini. Bahkan, pengalaman pertama saya belajar menerbangkan drone juga terjadi di sini area yang luas dan aman membuatnya sangat ideal.

Salah satu spot ikonik di Pantai Sanur adalah gazebo yang menjorok ke laut. Di sana, Anda bisa bersantai, menikmati bekal yang dibawa, atau sekadar duduk menatap cakrawala setelah berolahraga.

Pantai Sanur adalah destinasi klasik yang tak lekang oleh waktu. Ia tetap eksis, tetap menyapa pagi dengan lembut, dan mengingatkan kita bahwa kenangan tak hanya datang dari sunset yang menutup hari tetapi juga dari sunrise yang membuka harapan.

Saya tinggal di Tabanan, Bali yang masih termasuk wilayah Bali Selatan. Seperti yang kita tahu, pusat pariwisata di Bali memang terkonsentrasi di bagian selatan. Tak heran jika pembangunan dan investasi begitu masif terjadi di kawasan ini.

Namun, di balik ramainya Bali Selatan, saya dan keluarga justru sering mencari ketenangan ke sisi lain Pulau Dewata. Kami kerap berlibur ke wilayah yang lebih sunyi dan damai, jauh dari hiruk pikuk pariwisata. Salah satu destinasi favorit kami adalah Bali Utara lebih tepatnya, Pantai Lovina.

Pantai Lovina dikenal sebagai destinasi unggulan di Bali Utara, terutama karena atraksi lumba-lumbanya. Setiap pagi, para nelayan lokal menawarkan jasa tur melihat lumba-lumba langsung di laut lepas. Keberhasilannya tentu tergantung pada keberuntungan kadang lumba-lumba muncul, kadang tidak.

Saya pernah mencoba pengalaman itu. Pagi-pagi sekali, saya ikut bersama seorang warga lokal berlayar ke tengah laut. Awalnya, saya sempat ragu bisa melihat atau mengabadikan momen lumba-lumba, karena sudah cukup lama menunggu tanpa hasil. Namun sang bapak perahu tetap meyakinkan saya, “Hari ini pasti muncul.”

Dan benar saja, akhirnya saya berhasil menyaksikan keindahan mereka makhluk laut yang ceria itu, melompat bebas di tengah laut lepas. Sebuah momen magis yang tak akan pernah saya lupakan.

Salah satu tempat ngopi favorit saya ketika berada di pusat kota atau kawasan wisata adalah Fore Coffee. Kedai kopi modern ini sering jadi pilihan saat saya butuh mengejar pekerjaan sambil menikmati secangkir kopi, atau sekadar mencari ide segar untuk proyek kreatif.

Fore Coffee hadir dengan nuansa putih dan hijau yang memberikan kesan fresh, simpel, dan estetik. Atmosfernya nyaman dan tenang, sangat mendukung untuk bekerja, meeting ringan, atau bahkan brainstorming ide-ide baru. Fasilitasnya pun lengkap—tersedia colokan listrik dan Wi-Fi yang mudah diakses. Semua ini membuat saya betah berlama-lama di sini tanpa merasa terganggu.

Fore Coffee sudah hadir di banyak kota besar. Cukup cari di Google Maps, pilih cabang terdekat, dan kamu siap ngopi dengan suasana menyenangkan. Menu favorit saya? Hot cappuccino ukuran besar. Cukup untuk menemani saya bekerja selama sekitar satu jam. Harganya pun masih terjangkau, hanya sekitar 30 ribuan.

Memiliki hobi fotografi membuat saya terdorong untuk mengeksplorasi suatu tempat lebih dalam, bukan sekadar berkunjung, tapi benar-benar menyelami suasana, menikmati momen, dan memperhatikan setiap detail yang terjadi di sekitarnya. Kali ini, tujuan saya adalah Pantai Seseh, Bali.

Pantai Seseh memang tidak setenar Pantai Kuta, Sanur, atau Tanah Lot. Namun, seperti halnya pantai-pantai lain, ia menyimpan keindahan tersendiri yang layak dinikmati. Dulu, perjalanan menuju pantai ini terasa menyenangkan karena jalurnya melewati hamparan sawah alami dan deretan pohon kelapa. Jika Anda membawa action cam atau drone, pemandangan ini bisa menjadi daya tarik tersendiri dalam perjalanan ke Pantai Seseh. Hanya saja, saya kurang tahu apakah suasana itu masih sama sekarang, mengingat maraknya pembangunan vila dan properti lain di kawasan ini.

Jika dibandingkan dengan pantai lain yang penuh spot foto instagenik, Pantai Seseh terbilang “polos”. Tidak banyak elemen mencolok yang biasanya menarik minat para pemburu selfie. Namun, justru karena kesederhanaannya, pantai ini menawarkan pengalaman yang berbeda dan layak dicoba.

Suasana di pantai ini relatif sepi, tentu tergantung waktu kunjungan, tapi secara umum tidak seramai pantai-pantai wisata pada umumnya. Hamparan pasir hitamnya membentang luas dan tenang. Salah satu hal menarik yang saya temui saat berkunjung adalah aktivitas para petani rumput laut. Mereka tampak memanen rumput laut dari karang-karang kecil, mungkin untuk dikonsumsi sendiri atau dijual. Pemandangan ini memberikan nuansa lokal yang kuat dan unik.

Pantai Seseh juga populer di kalangan penggemar layang-layang. Saya sempat menyaksikan layangan berukuran sangat besar dimainkan oleh sekelompok orang dengan antusiasme tinggi. Itu menjadi hiburan tersendiri bagi saya saat berada di sana.

Akhirnya, saya menyadari bahwa tujuan fotografi saya di pantai ini bukan lagi sekadar merekam keindahan alam, tapi menangkap dinamika kehidupan di dalamnya — hiruk-pikuk sederhana yang menyimpan banyak cerita. Dan satu hal yang tidak boleh dilewatkan di Pantai Seseh: mataharinya terbenam dengan cantik. Kita tak perlu repot mencari sudut terbaik — cukup duduk santai, menikmati dengan mata, dan menyimpan momen itu dalam ingatan.

Warga Tabanan, Bali pasti mengenal pasar malam yang satu ini. Bisa dibilang legendaris, karena sejak saya kecil hingga sekarang, Pasar Senggol Tabanan tetap ada dan tetap seru untuk dikunjungi. Tempat ini adalah destinasi santai dan klasik yang selalu membawa saya kembali ke masa kecil.

Terletak di pusat kota Tabanan, pasar ini biasanya buka pada malam hari. Jika kamu ingin mencoba berbagai macam kuliner, Pasar Senggol Tabanan bisa menjadi pilihan terbaik — terutama bagi kamu yang tinggal di daerah ini. Kamu bisa menemukan aneka makanan, mulai dari kuliner tradisional khas Tabanan hingga jajanan kekinian yang ramai diburu anak muda.

Selain kuliner, ada juga area permainan anak-anak, semacam kids club versi merakyat. Bagi yang sudah punya anak, tempat ini menyenangkan karena menyediakan permainan yang murah meriah tapi tetap seru dan menghibur si kecil.

Sebagai penggemar fotografi, saya pribadi sangat menikmati suasana Pasar Senggol Tabanan di malam hari. Jalan raya yang dialihfungsikan sebagai pasar dipenuhi ruko-ruko bergaya lama, menciptakan kesan seperti kota tua. Ditambah gemerlap cahaya kendaraan yang lalu lalang, suasananya sangat cocok untuk eksplorasi fotografi malam. Jangan lupa bawa tripod, ya!

Suatu ketika, saya berkesempatan mengunjungi sebuah pantai yang dulu cukup tersembunyi di daerah Jimbaran, Bali. Kini, mungkin pantai ini sudah lebih dikenal dan ramai dikunjungi wisatawan. Pantai tersebut bernama Pantai Tegal Wangi.

Bagi yang belum pernah ke sini, saya sangat menyarankan untuk mencobanya. Pantai ini menyuguhkan pemandangan matahari terbenam yang begitu indah. Pasir putihnya berpadu dengan batu-batu karang yang menambah keunikan dan daya tarik tersendiri.

Menurut saya, saat ini Pantai Tegal Wangi telah menjadi salah satu destinasi favorit di kawasan Jimbaran. Selain untuk menikmati senja, pantai ini juga kerap dijadikan lokasi pemotretan, termasuk sesi prewedding.

Akses menuju pantai memang agak menantang. Jalurnya sempit dan bisa sedikit membingungkan, namun Anda bisa mengikuti petunjuk dari Google Maps dan papan penunjuk jalan yang tersedia di sekitar lokasi. Tetap berhati-hati, karena jalur menuju pantai cukup terjal dan di beberapa bagian terdapat tebing yang curam.

Bagi saya, Pantai Tegal Wangi adalah tempat yang cocok untuk melepas penat. Saat merasa jenuh dan bingung ingin ke mana, pantai ini bisa menjadi pilihan tepat. Pemandangannya memberikan energi positif yang membuat kita merasa nyaman, takjub, dan bahagia. Cocok juga bagi pasangan yang ingin menikmati sore santai sambil menyaksikan matahari terbenam bersama.

Pantai Soka adalah salah satu pantai yang menyimpan pesona berbeda dibandingkan pantai-pantai lain di Bali. Di sinilah dulu saya mulai belajar fotografi, menangkap momen, merasakan cahaya, dan menikmati keheningan alam yang jarang ditemukan di tempat lain.

Sudah cukup lama saya belum sempat kembali ke sana. Letaknya memang agak jauh dari rumah saya di Tanah Lot, Tabanan, sehingga kunjungan ke Pantai Soka terasa seperti perjalanan kecil yang harus direncanakan matang-matang.

Terletak di Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, Pantai Soka terkenal dengan pasir hitamnya yang eksotis dan pemandangan matahari terbenam yang menawan. Bebatuan besar yang tersebar di bibir pantai turut memberi karakter unik yang jarang ditemukan di pantai lainnya.

Pantai ini jauh dari hiruk pikuk kota. Letaknya yang terpencil membuatnya sering terlewat dari daftar destinasi favorit wisatawan lokal. Tapi justru karena itulah, Pantai Soka menawarkan ketenangan yang luar biasa.

Pengalaman memotret di sana? Sangat menyenangkan... tapi jujur saja, kadang bikin merinding. Ada nuansa sunyi yang mistis, seolah alam menyimpan rahasianya sendiri. Tapi di balik itu, suasana seperti itulah yang membuat setiap hasil jepretan terasa lebih dalam, lebih bermakna.

Setiap kali saya melihat kembali foto-foto yang saya ambil di sana, rasanya seperti kembali hadir di tempat itu. Angin laut, aroma garam, dan cahaya senja langsung muncul lagi di ingatan—seolah waktu berhenti sejenak.